Ittiba’us Salaf, Solusi Perselisihan

Ittiba’us Salaf, Solusi Perselisihan

Ittiba’us Salaf, Solusi Perselisihan

 

Perselisihan sebuah kepastian, tapi setiap masalah pasti ada solusinya. Solusi perselisihan adalah ittiba’us salaf dan meninggalkan bid’ah.

Manhaj ahlul ahwa (pengekor hawa nafsu) dan ahli bid’ah adalah sumber pengambilan akidah mereka bukanlah kitabullah dan sunnah. Sumber akidah mereka adalah bid’ahnya imam-imam mereka dan para syaikhnya, mentakwil kitab atau sunnah agar selaras dengan hawa nafsu mereka, bersandar kepada akal dan kepada hadits-hadits lemah nan rapuh yang merupakan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti dalil-dalil yang mutasyaabih (multi tafsir) dan mengubah (tahriif) dalil-dalil serta mentakwilnya dengan takwil yang rusak.

Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata,

وَبِالْجُمْلَةِ فَافْتِرَاقُ أَهْلِ الْكِتَابِ وَافْتِرَاقُ هَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً إِنَّـمَا أَوْجَبَهُ التَّأْوِيْلُ

“Umumnya perpecahan ahli kitab dan juga perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, tidak lain disebabkan oleh takwil.”
(I’laamul Muwaqqi’iin (4/317))

Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafiy berkata,

وَهَلْ خَرَجَتِ الْخَوَارِجُ وَاعْتَزَلَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَرَفَضَتِ الرَّوِافِضُ وَافْتَرَقَتِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً إِلَّا بِالتَّأْوِيْلِ الْفَاسِدِ

“Tidaklah khawarij itu memberontak, orang Mu’tazilah memencilkan diri, Syi’ah Rafidhah menolak (menolak Zaid bin Ali bin Husain, yang menegur mereka karena mencela Umar bin Khattab), dan umat islam terpecah belah menjadi 73 golongan melainkan karena sebab takwil yang rusak.”
(Syarhul ‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hal. 189))

Solusi agar selamat dari perpecahan adalah menempuh jalan selamat dengan ittiba’ (mengikuti) Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman shahabat radhiyallahu’anhum dalam hal ucapan, amalan, dan aqidah.

Allah berfirman,

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلا صَٰلِحا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Kahfi: 110)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan agar amal itu shalih, maksudnya adalah sesuai dengan sunnah, kemudian Allah memerintahkan agar orang yang ibadah itu mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah.

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya,

وَهَذَانِ رُكْنَا الْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ لَابُدَّ أَنْ يَكُوْنَ خَالِصًا لِلّهِ صَوَاباً عَلَى شَرِيْعَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ini adalah dua rukun amal yang diterima, yaitu ibadah harus Ikhlas karena Allah dan harus benar berdasarkan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Tafsir Ibnu Katsir (3/106)).

Ittiba’ (mengikuti) hanya dikatakan benar apabila memenuhi tiga perkara yang diringkas dari dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah, tiga perkara tersebut adalah:

  1. Berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Tidak berpecah belah dan berselisih dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
  3. Hendaknya ittiba’ kepada Al-Quran dan As-Sunnah dibatasi (di ikat) dengan pemahaman Salaf Shalih, tidak dengan pemahaman selain mereka.

 

Faedah Dauroh Kitab Kun Salafiyyan ‘Alal Jaaddah, ‘Abdussalaam bin Saalim bin Rajaa As-Suhaimi.
Disampaikan oleh Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A hafizhahullahu ta’ala

COMMENTS

WORDPRESS: 0