Kebahagiaan Hakiki Hanya Milik Seorang Mukmin
Lezat beda dengan bahagia, kelezatan bisa dirasakan oleh siapapun mukmin atau kafir, ahli maksiat atau ahli taat, walaupun tentu kelezatan yang dimaksud hanya kelezatan sesaat. Perhatikan pelaku maksiat, apakah mereka merasakan lezatnya maksiat, tentu ya, tapi pasti hanya sesaat karena setelahnya adalah sesaknya hati dan kelezatan yang justru menyiksa.
Adapun kebahagiaan adalah kelapangan dada dan ketenangan hati. Ini hanya didapatkan oleh seorang mukmin, karena seluruh amalannya yang dibangun di atas keimanan akan menghasilkan ketenangan hati dan kelapangan dada. Inilah makna firman Allah ta’ala dalam QS An-Nahl ayat 97 (yang artinya),
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Sebaliknya, jika amal itu tidak sholih alias maksiat, atau nampak seperti amal sholih secara dhohir tapi tidak atas dasar iman atau keikhlasan, juga tidak akan mewariskan kelapangan dada dan ketenangan hati. Perhatikan orang yang riya, sepertinya beramal sholih tapi tidak ikhlas, pasti hanya akan gelisah dan tidak berlapang dada alias tidak memperoleh kebahagiaan hakiki.
Maka, jika ahli maksiat atau pelaku amal yang nampak sholih bukan karena iman, tidak ikhlas, seandainya nampak bahagia pasti semu, karena pasti dia menyimpan kegelisahan hati.
—
Faedah Kajian Kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Disampaikan oleh Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A hafizahullahu ta’ala
COMMENTS